Dr. H. Arwin Juli
Rakhmadi Butar-Butar, MA
Dosen
FAI UMSU dan Kepala Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera
Utara
Al-Jami'yatul Washliyah (disingkat
dengan Al-Washliyah) didirikan tanggal 9 Rajab 1349 H, bertepatan dengan 30
Nopember 1930 M. Organisasi
ini berawal dari kajian-kajian kemasyarakatan yang dilakukan sekelompok pelajar
Maktab Islamiyah Tapanuli Medan yang tergabung dalam sebuah studi klub bernama
"Debating Club".
Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga-nya, disebutkan bahwa Al-Washliyah adalah organisasi
kemasyarakatan yang berazaskan Islam dalam iktikad, dan dalam hukum fikih
bermazhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah dengan mengutamakan mazhab Syafi’i. Dari
sini, secara implisit penetapan awal puasa dan hari raya yang digunakan
Al-Washliyah adalah dengan metode rukyat hilal, dan atau dengan menggenapkan
bilangan bulan Sya'ban menjadi 30 hari yang merupakan pendapat rajih dan
menjadi fatwa dalam mazhab Syafi'i.
Namun, karena Al-Washliyah
menyadari berada dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka Al-Washliyah
patuh mengikuti ketetapan pemerintah yang sah, yang mana ini adalah sebuah
kewajiban dan keniscayaan sebagai konsekuensi logis dari pengakuannya sebagai
ormas yang bernaung di bawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini
sesungguhnya, sejalan dengan salah satu tujuan Al-Washliyah sebagaimana
tertuang dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga-nya.
Oleh sebab itu, Al-Washliyah
senantiasa akan patuh mengikuti ketetapan pemerintah, meskipun metode yang
digunakan oleh pemerintah adalah pendapat lemah menurut mazhab Syafi'i yang
menjadi rujukan Al-Washliyah. Terlebih lagi, permasalahan ini sejatinya masih
dalam ranah ijtihad. Dan dalam permasalahan ijtihad, maka ijtihad pemerintah
lebih diutamakan ketimbang ijtihad pihak lain, demi menjaga kemaslahatan umat
berupa persatuan dan keharmonisan sekaligus menghindari kemudaratan berupa
perpecahan dan ketidak kompakan dalam satu negara.
Menjaga kemaslahatan di atas
merupakan salah satu tugas pemerintah. Karena itu, apapun keputusan pemerintah
harus mengandung kemaslahatan, sesuai dengan kaidah fikih yang berbunyi "Ketetapan
imam untuk rakyat harus berdasarkan pada kemaslahatan." Maksudnya,
apapun keputusan yang diambil imam atau pemerintah tidak dapat dibenarkan
secara syariat selama tidak dimaksudkan untuk kemaslahatan umum.
Keputusan Al-Washliyah mengikuti
ketetapan Pemerintah berangkat dari keyakinan Al-Washliyah bahwa ketetapan
pemerintah wajib diikuti sebagai bentuk kepatuhan terhadap ulil amri .
Imam al-Mawardi ketika menjelaskan kewajiban mendirikan pemerintahan menurut
syariat mengatakan, bahwa dalam syariat terdapat perintah menyerahkan
segala urusan kepada ulil amri, maka wajib bagi kita mematuhi ulil
amri kita tersebut. Kewajiban patuh terhadap ulil amri ini didasari pada landasan yang kokoh dari
al-Qur'an, hadis, Ijmak, dan logika (qiyas).
Meskipun metode imkanur rukyat kriteria MABIMS
dengan parameternya masih sangat debatable,
namun Al-Washliyah tetap taat mengikuti ketetapan pemerintah tersebut. Karena
bagaimanapun, keputusan pemerintah memilih metode ini dilandasi argumentasi
logis. Terlebih masalah ini masih dalam ruang ijtihad. Alasan lain mengapa
Al-Washliyah mengikuti ketetapan pemerintah adalah untuk menjaga stabilitas
nasional dan kesatuan umat Islam Indonesia dalam memulai berpuasa dan berhari
raya.[]
0 Komentar